Hasil survey mengenai elektabilitas atau tingkat keterpilihan calon kepala daerah dan presiden semakin beragam. Bahkan, survey politik menjadi jalan untuk mendongkrak suara calon tertentu. Selain itu, hasil survey sering disebut sebagai pesanan atau skenario partai politik untuk memenangkan calon yang diusungnya. Bagaimana agar masyarakat tidak tertipu dengan hasil survey ?
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia LSI Aji Alfaraby mengatakan, lembaganya kerap menggunakan survey untuk menjajaki kepopuleran seorang calon kepala daerah. Keterpilihan tokoh menjadi pertimbangan penting bagi partai untuk menentukan siapa yang akan diusung. Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afifuddin mengatakan, survey politik juga membantu strategi pendidikan pemilu. Ia mencontohkan pada pemilukada Jakarta terahir.
Ketika itu, TV dan pemuka agama memberi pengaruh besar dalam rujukan untuk memilih calon gubernur. Dengan begitu, pemuka agama berarti merupakan medium yang berarti untuk mendidik pemilih. Meskipun begitu, survey memiliki tantangannya tersendiri. Karena menentukan apakah seorang tokoh ditentukan kandidat kepala daerah atau tidak, politikus rela membayar survey untuk menghasilkan jajak pendapat sesuai dengan yang diinginkannya. Peneliti Lingkaran Survey Indonesia membenarka hal itu. Namun, menurutnya, kredibilitas merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar.
Ia dengan yakin menceritakan, sebagian besar survey LSI dapat memprediksi hasil pemilu dengan tepat. Ia memperkirakan, masyarakat akan meninggalkan suatu lembaga survey jika tidak dapat dipercaya. Elit partai juga enggan menggunakan jasa lembaga survey tersebut jika tidak mempertahankan kredibilitas. Sementara itu, Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afifuddin tidak terlalu yakin hasil survey yang direkayasa dapat menggiring suara rakyat untuk memilih pasangan calon yang diunggulkan.
“Secara teoritis ada dua dampak atas survey, public bisa melakukan pemilihan berdasarkan referensi pemenang. Daripada saya milih yang kalah, mending saya milih yang sudah disurvey ini,” kata Afifuddin. Namun, bisa juga survey menghasilkan underdog effect yaitu ketika masyarakat justru memilih kandidat yang rendah ketika disurvey karena merasa iba. Peneliti LSI Adji Alfaraby mengatakan, masyarakat mesti berhati-hati untuk membedakan rekam jejak lembaga survey.
Untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat, Afifuddin menyarankan agar lembaga survey mengumumkan secara terbuka penyandang dana. Menurutnya, keterbukaan itu akan merangsang diskusi di masyarakat. Tren keterbukaan ini juga sudah jamak terjadi di berbagai negara lain. Ia mencontohkan, ketika sebuah lembaga survey yang mendukung partai politik tertentu menyebutkan partai pendukungnya akan menang, masyarakat tidak perlu bingung. Menanggapi usulan tersebut, Lingkaran Survey Indonesia mengaku menyiasati dengan memisah divisi penelitian dan konsultasi.
Peneliti Adjie Alfaraby mengatakan, divisi konsultasi memang dibayar partai atau kandidat tertentu untuk melakukan survey. Namun, hasil survey diserahkan pada penyandang dana untuk meningkatkan elektabilitas. Dalam divisi penelitian, LSI menggunakan dana tersendiri untuk melakukan survey nasional. LSI menggunakan dana sendiri karena menilai survey tersebut akan memberi hasil yang bermanfaat pada masyarakat.